Definisi Alih Teknologi yaitu pengalihan kemampuan memanfaatkan dan
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan, atau orang, baik
yang berada dilingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke
dalam negeri dan sebaliknya.
Kemampuan nasional suatu negara
untuk mengembangkan kapabilitas teknologi banyak ditentukan oleh upaya
teknologis, perlengkapan modal, dana dan kualitas sumber daya manusia, serta
keterampilan teknis dan organisatoris untuk menggunakan unsur-unsur di atas secara
efektif dan efesien. Berbagai usaha yang dilakukan seringkali terbentur pada
kendala faktor-faktor yang bersifat struktural seperti penguasaan teknologi,
kualitas sumber daya manusia, prasarana fisik, serta pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Padahal, kemampuan suatu negara untuk mengembangkan
kapabilitas teknologi banyak ditentukan oleh upaya teknologis, perlengkapan
modal, dana, kualitas sumber daya manusia, serta keterampilan teknis dan organisatoris,
untuk menggunakan unsur-unsur tersebut secara efektif dan efisien.
Kondisi tersebut menuntut
partisipasi aktif seluruh pihak yang terlibat dalam pengembangan, pengkajian
dan alih teknologi baik dari kalangan akademisi (perguruan tinggi), dunia
usaha, industriawan, maupun pemerintah untuk bersama-sama melakukan kajian
terhadap faktor-faktor tersebut secara lebih intensif, sehingga dapat
menghasilkan rancangan strategi pengembangan industri dan teknologi yang
memiliki daya saing tinggi baik secara nasional, regional maupun global.
Konsep Alih Teknologi
Secara sederhana, konsep alih
teknologi dapat diartikan sebagai salah satu cara untuk memperoleh kemampuan
teknologi, di mana saluran yang dapat dipakai juga bermacam-macam. Sebagai contoh:
alih teknologi dapat dilakukan dengan cara penanaman modal asing, memalui
berbagai perjanjian bantuan teknis dan manajerial, melalui tukar-menukar tenaga
ahli, melalui buku-buku, dan sebagainya.
Konsep alih teknologi dipahami
secara berbeda-beda, seperti juga konsep kemampuan teknologi. Santikar (1981)
menunjukkan bahwa ada empat macam konsep alih teknologi, di mana masing-masing
konsep membutuhkan kemampuan teknologi dan pendalaman teknologi yang
berbeda-beda. Keempat konsep alih teknologi tersebut adalah:
- Alih teknologi secara geografis. Konsep ini menganggap alih teknologi telah terjadi jika teknologi tersebut telah dapat digunakan di tempat yang baru, sedangkan sumber-sumber masukan sama sekali tidak diperhatikan.
- Alih teknologi kepada tenaga kerja lokal. Dalam konsep ini, alih teknologi terjadi jika tenaga kerja lokal sudah mampu menangani teknologi impor dengan efisien, yaitu jika mereka telah dapat menjalankan mesin-mesin, menyiapkan skema masukan-keluaran, dan merencanakan penjualan.
- Transmisi atau difusi teknologi. Dalam konsep ini, alih teknologi terjadi jika teknologi menyebar ke unit-unit produktif lokal lainnya. Hal ini dapat terjadi melalui program sub-contracting atau usaha-usaha diseminasi lainnya.
- Pengembangan dan adaptasi teknologi. Dalam konsep ini, alih teknologi baru terjadi jika tenaga kerja lokal yang telah memahami teknologi tersebut mulai mengadaptasinya untuk kebutuhan-kebutuhan spesifik setempat ataupun dapat memodifikasinya untuk berbagai kebutuhan. Pada kasus-kasus tertentu yang dianggap berhasil, tenaga kerja lokal dapat mengembangkan teknik-teknik baru berdasarkan teknologi impor tadi
Kondisi Alih Teknologi di Indonesia
Perwakilan dari Lembaga Riset dan
Pengabdian Masyarakat (LRPM), Universitas Presiden menyampaikan masih
kekurangan sumber daya, sehingga masih fokus pada pengajaran saja, sedangkan
untuk alih teknologi, belum ada mekanisme yang jelas, yang pasti, adalah kalau
ada hasil dari litbang harus masuk seluruhnya ke dalam yayasan dan keluarnya
sulit.
Sementara perwakilan dari LP3M
Institut Teknologi Indonesia (ITI), Abu Amar, menyampaikan bahwa alih teknologi
di ITI sudah berlangsung cukup lama dan sudah banyak dilakukan berfokus pada
permasalahan langsung yang bisa aplikatif ke masyarakat. Sehingga belum banyak
paten yang dihasilkan, namun hasil litbang yang telah mendapat paten, justru tidak teraplikasikan karena industri
tidak tertarik untuk membeli.
LRPM Universitas Nasional sendiri
baru aktif tahun 2010. Mengenai alih teknologi kebanyakan yang dilakukan
sebatas publikasi dan konsultasi sama
halnya dengan UPH dan Unisma Bekasi. Dengan adanya sosialisasi mengenai PP
20/2005 tentang adanya kewajiban melakukan alih teknologi untuk pemakaian dana
pemerintah maka UPH juga seharusnya ke depan mengarah ke sana. Mengenai
royalti, masih belum ada peraturan yang mengatur mengenai hal tersebut.
Bank Dunia baru-baru ini
mengumumkan hasil perhitungan terbaru Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara
di dunia. Pada tahun 2005 PDB China mencapai US$ 2,2638 triliun dan
menempatkannya sebagai negara dengan besaran ekonomi nomor empat dunia,
menggeser Inggris.
Di urutan pertama AS, diikuti
Jepang dan Jerman. Sebuah lembaga konsultan bisnis, Goldman Sach memperkirakan
PDB China akan melampaui Jerman pada 2010, melampaui Jepang pada 2015 dan
melampaui AS pada 2040.
Negara Asia lainnya, India juga
tinggi pertumbuhan ekonominya. Diperkirakan pada 2015 PDB India akan
mengalahkan Italia; tahun 2020 mengalahkan Prancis dan mengalahkan Jerman pada
tahun 2025. India akan mengalahkan PDB Jepang antara 2030 dan 2035, serta
mengalahkan PDB AS pada 2040.
Di tahun 2040, China dan India
akan tampil sebagai kekuatan terbesar ekonomi dunia. Pusat ekonomi dunia tidak
lagi di Eropa atau Amerika, tapi di Asia; tidak di negara maju tapi di bekas
negara berkembang yang mampu mengubah dirinya menjadi sejahtera. Kita
menyaksikan kebangkitan China dan India, melengkapi sejarah sukses Jepang, Hong
Kong, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Sepatutnyalah Indonesia mengambil
peran signifikan dalam tampilnya Asia sebagai pusat pertumbuhan dunia,
mengingat modal yang kita miliki amat besar; baik berupa SDA yang melimpah dan
jumlah penduduk yang akan menjadi nomor tiga di tahun 2030. Kita harus serius
merancang dan membangun masa depan negara kita dalam percaturan ekonomi dunia.
Peran Pemerintah
Dalam Proses Alih Teknologi
Peran pemerintah dalam hal ini
lembaga terkait yaitu Kementrian Hukum dan HAM melalui Badan Pembinaan Hukum
Nasional adalah merumuskan peraturan pemerintah sebagai acuan pelaksanaan untuk
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
Peran pengawasan dan pelaksanaan
dilakukan oleh unit dari Kementrian Hukum dan HAM yaitu Dirjen HKI lebih khusus
lagi Direktorat Paten. Setiap kontrak lisensi paten harus didaftarkan kepada
Direktorat Paten. Namun pada praktek pelaksanaannya belum maksimal. Masih
sangat sedikit kontrak lisensi paten yang didaftarkan. Sehingga proses
pemantauan terhadap kontrak itu sendiri masih sangat sulit.
Secara umum dalam proses alih
teknologi ada 5 pihak yang terkait, yaitu[2]:
a. Pemilik teknologi sebagai pihak yang
memberi teknologi
b. Negara pemilik teknologi
c. Penerima teknologi
d. Negara penerima teknologi
e. Lembaga-lembaga internasional / PBB
Mengingat teknologi sudah menjadi
komoditi yang dibutuhkan oleh semua negara maka peranan organisasi dan
masyarakat internasional menjadi lebih menonjol. Untuk itu maka pelaksanaan
diawali dengan mengungkap posisi dari masyarakat internasional. Kemudian
disusul dengan posisi pemilik teknologi
dan penerima teknologi dan penerima teknologi dan akhirnya dibahas
posisi pemilik dan penerima teknologi, masing-masing dikupas segi-segi peluang
yang dapat diperoleh dan resiko yang harus dihadapi. Pada suatu kontrak timbul
kebutuhan hubungan kontraktual, yaitu adanya konsensus selanjutnya dituangkan
dalam bentuk perjanjian tertulis.
Untuk itu pemerintah ikut campur
dalam perkembangan hukum perjanjian diantaranya melalui perundang-undangan,
kebijaksanaan, kerjasama bilateral atau multilateral dengan negara lain dan
sebagainya. Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergabung dengan Perusahaan
Nasional dalam bentuk usaha Joint Venture. Kontrak lisensi paten yang diadakan
antara pemilik teknologi dengan penerima teknologi diawali dengan penawaran
dari pemilik teknologi kepada penerima teknologi.
Kesadaran Masyarakat
Dalam Alih Teknologi
Sejak awal kelahirannya pada masa
Pencerahan, teknologi telah menghancurkan mitos-mitos dan pola pikir masyarakat
tradisional yang dibatasi oleh berbagai legitimasi tradisi kebudayaan seperti
mitologi, teknologi, filsafat, yang semuanya berfungsi integratif. Pola
tersebut disadari sebagai ideologi dalam fungsi distorsif karena bertentangan
dengan kepentingan Pencerahan yang melahirkan berbagai penemuan yang menjadi
cikal bakal Revolusi Industri. Ideologi yang kemudian muncul sebagai legitimasi
baru mengganti pola tradisional dengan pola modern yang membentuk sistem
integrasi sosial baru, yakni sistem kapitalisme liberal yang mendasarkan diri
pada mekanisme pasar bebas dan serangkaian prinsip tentang kebebasan lainnya.
Negara-negara yang menguasai teknologi mulai mengadakan ekspansi dan intervensi
yang didorong oleh kepercayaan bahwa ilmu dan teknologi adalah solusi berbagai
masalah. Negara-negara tersebut mendasarkan diri pada teknologi sebagai
legitimasi kekuasaan teknokratis. Dengan demikian, bentuk integrasi sosial yang
terjadi adalah masyarakat teknokratis yang memperluas dan melestarikan
kekuasaannya melalui teknologi. Dalam masyarakat teknokratis itu hubungan
antarmanusia dipermiskin menjadi hubungan instrumental dan dengan demikian
mengabaikan nilai-nilai komunikatif manusiawi.
Oleh karena itu, dalam upaya
pengembangan dan alih teknologi, kita perlu mengadakan refleksi apakah
teknologi itu kemudian muncul sebagai ideologi, sikap, cara dan gaya hidup,
yang melakukan infiltrasi, penetrasi atau bahkan invasi terhadap orientasi
nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa kita. Refleksi dan orientasi itu
mesti diwujudkan pula dalam kesadaran sedemikian rupa agar ilmu dan teknologi
dapat disikapi sebagai kenyataan budaya yang sangat berharga dan dibutuhkan
dengan tetap mempertahankan fungsi dan peranannya sebagai sarana demi kepentingan
manusia seperti disarankan Soerjanto Poespowardojo ( 1989:86 ): “Dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan teknologi, kesadaran
religius, budaya, dan ilmiah perlu ditanamkan dan dinyalakan, karena dengan
demikian orang mendapatkan motivasi kuat untuk menentukan sikap dan menjalankan
kegiatannya secara terbina dan terarah.”
Menyadari kemampuan metamorfosa
teknologi sebagai ideologi, Farid Ruskanda ( 1989 ) mengusulkan penambahan
ideoware ke dalam rangkaian technoware (peralatan), infoware (informasi),
humanware (sumber daya manusia), dan orgaware (organisasi). Ideoware
merefleksikan ideologi dan cita-cita pembangunan suatu bangsa secara
operasional dalam proses pengembangan, pengalihan maupun pengendalian
perkembangan teknologi.
Peran IT Dalam
Alih Teknologi
Pemanfaatan atau implementasi
teknologi dalam alih teknologi akan memberikan dampak yang cukup signifikan
bukan hanya dari efisiensi kerja tetapi juga terhadap budaya kerja baik secara
personal, antar unit, maupun keseluruhan institusi.
Berdasarkan strukturnya,
pemanfaatan teknologi informasi diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu:
- Perbaikan efisiensi : Pemanfaatan teknologi informasi untuk perbaikan efisiensi diterapkan pada level operasional organisasi. Pada kategori ini, pemanfaatan teknologi informasi diukur dengan penurunan waktu dan biaya proses.
- Perbaikan efektivitas : Pemanfaatan teknologi informasi untuk perbaikan efektifitas diterapkan pada level manajerial organisasi. Pada kategori ini, pemanfaatan teknologi informasi diukur dengan kemudaan dan kecepatan memperoleh status pencapaian target organisasi.
- Strategic Improvement : Pemanfaatan teknologi informasi untuk strategic improvement (perbaikan daya saing) diterapkan pada level eksekutif organisasi. Pada kategori ini, pemanfaatan teknologi informasi diukur dengan kemudahan dan ketepatan pengambilan keputusan oleh eksekutif.
SUMBER :